Translate

animasi bergerak naruto dan onepiece
Flag Counter
animasi bergerak naruto dan onepiece

Rabu, 28 Agustus 2013

Bank Syariah


Bank Syariah
Oleh Fajar Maulana
Kajian Fiqh Islam: Dasar Hukum Jual Beli (البيع والشراء).
Al-Qur`an dan Hadits telah membahas tentang praktek jual beli sebagai salah satu transaksi muamalah yang ada dalam sistem  ekonomi Islam.
Jual Beli Menurut al-Quran
Terdapat beberapa ayat al-Qur`an yang membahas tentang jual beli, 2 di antaranya yang sangat populer dijadikan sebagai
landasan dasar hukum jual beli dalam persfektif hukum fiqh muamalah, yaitu:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: …..
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….(surah al-Baqarah 2:275)
Berdasarkan QS. al-Baqarah 2:275 di atas, Allah telah memberikan label HALAL pada transaksi Jual Beli dan memberikan cap HARAM kepada transaksi Riba  (الرِّبَا).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Surah an-Nisa` 4:29)
Jika melihat penjelasan dalam QS. an-Nisa` 4:29 di atas,  Secara tegas, Allah telah memberikan peringatan LARANGAN untuk perbuatan ilegal memakan harta orang lain tanpa proses perniagaan yg sah (التجارة).  Bahkan ayat ini disambung dengan kalimat LARANGAN pembunuhan diri sendiri. (Silahkan perdalam pada kategori al-Qur`an tentang konektivitas ayat per ayat (hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam al-Qur`an)
Jual Beli Menurut Hadits
Selain ditemukan di dalam al-Qur`an, dasar Hukum tentang Jual Beli dapat juga ditemukan melalui penelusuran Hadits Rasulullah. Beberapa di antaranya seperti:
Hadits yg disampaikan oleh Rifa`ah ibn Rafi` bahwa: Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat Nabi mengenai pekerjaan (Profesi) apa yg paling baik? Dijawab oleh Rasulullah saat itu dg: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yg diberkati. (HR al-Baz-zar dan al-Hakim)
Hadits lain yg diriwayatkan oleh at-Tirmizi, Rasulullah bersabda:  Pedagang yg jujur dan terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) para Nabi, Para Shiddiqin (orang yg membenarkan Nabi), Para Syuhada (Orang yg mati syahid di jalan Allah).
Selain itu, hadits yg disampaikan oleh Abi Sa`id al-Khudri dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban, bahwa Rasulullah SAW Bersabda: Innamal Bai`a `an Taroodin (sesungguhnya jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka)
Hukum Jual Beli
Berdasarkan beberapa ayat al-Quran dan Hadis Nabi di atas, maka para
Ulama Fiqh menfatwakan bahwa hukum asal jual beli itu adalah mubah (boleh dilakukan).
Hukum mubah jual beli bahkan bisa berubah menjadi hukum wajib pada kondisi tertentu. Seperti dijelaskan oleh Imam asy-Syatibi (pakar fiqh Maliki, 790 H), ketika terjadi praktek nakal oleh para pedagang besar (cukong, bos, toke besar, agen produk) yg melakukan penimbunan barang (ihtikar) sehingga stok barang hilang dari peredaran pasar dan membuat harga melonjat naik, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang untuk menjual barang yg ditimbunnya sesuai harga sebelum terjadi kenaikan harga. Menurut Asy-Syatibi: Pedagang tersebut hukumnya wajib menjual barangnya sesuai ketentuan pemerintah.

2.      Lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank Islam) di Indonesia[6]

Konsep teoritis mengenai bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940- an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini, dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari beberapa penulis, antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul; A Groundwork for Interest Free Bank.
Sementara itu, ide pendirian bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan 1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendikiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat, pajak dikalangan para ulama, cendikiawan, dan intelektual muslim.
Kemudian gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Para ulama pada saat itu berusaha mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang bisa dijadikan dasar, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0 %. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 18-20 Agustus 1990, maka dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pedekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muammalat Indonesia, yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh menteri Kabinet Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai Yayasan penompang Bank Muammalat Indonesia. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi.
Setelah Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah pertama di Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan mempraktekkan sistem syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi. Namun karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan pemerintah yang tayangan-tayangannya bahkan masuk ke pelosok desa dan kecamatan untuk menyedot dana dari masyarakat, membuat Bank Muammalat Indonesia hampir tidak bisa berbuat banyak, apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat yang jauh dari kota-kota besar. Kenyataan tersebut barangkali menjadikan Bank Muammalat Indonesia kemudian belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat muslim lapisan bawah yang selama berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh kebijakan pemerintah yang memihak kepada mereka. Secara yuridis, walaupun pembicaraan-pembicaraan tentang bank berdasarkan prinsip syariah sudah lama ada di Indonesia, akan tetapi momentum akan lahirnya bank-bank yang bergerak dibidang berdasarkan prinsip syariah tersebut baru ada setelah lahirnya Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998.
Memang Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 seakan-akan memukul gong terhadap lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah tersebut. Sebab menurut Pasal 6 huruf (m) juncto Pasal 13 huruf (c) dari undang-undang tersebut dengan tegas membuka kemungkinan bagi bank untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya, baik untuk bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Kegiatan pembiayaan bagi hasil tersebut kemudian oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diperluas menjadi kegiatan apapun dari bank berdasarkan prinsip syariat yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (dalam undang-undang yang lama ditetapkan oleh peraturan pemerintah). Dengan demikian, Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) dari Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 sekarang merupakan dasar hukum yang utama bagi eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah. Dalam Pasal 6 huruf (m) tersebut berbunyi :
“Usaha bank meliputi:  menyediakan pembiayaan dan/ atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 13 huruf (c) berbunyi:
“Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi: menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Sebagai pengejawantahan dari dasar hukum utama dari Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, oleh Pemerinah Republik Indonesia telah dikeluarkan dasar hukum bagi bank berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk peraturan pemerintah, yakni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Adapun yang menjadi dasar-dasar Bank Bagi Hasil yang disebutkan dalam Peraturan Pemerinah Nomor 72 Tahun 1992 tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Kegiatan bank berdasarkan syariah dapat dilakukan oleh Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat (Pasal 1 ayat(1))
  2. Jika Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sudah melakukan kegiatan bank berdasarkan syariah, maka dia tidak boleh lagi merangkap melakukan juga kegiatan-kegiatan lainnya (kegiatan konvensional) (pasal ayat (1) juncto     Pasal 6.
  3. Bank berdasarkan syariah melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam (Pasal 2 ayat (1)) 4. Bagi hasil bagi penyediaan dana kepada masyarakat termasuk juga kegiatan jualbeli (Pasal 2 ayat (2)) 5. Bank berdasarkan syariah wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariat.
Adapun tujuan pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia adalah sebagai berikut:[7]
  1.  Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga.
  2. Menyediakan alternatif investasi, pembiayaan dan jasa keuangan lainnya.
  3. Mengurangi resiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia.
  4. Mendorong peran perbankan secara optimal dalam menggerakka sektor riil dan membatasi spekulasi atau pembiayaan yang tidak produktif.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia telah ada sebelum di undangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian menjadi tonggak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

3.   Perbankan Syari’ah Indonesia di tinjau dari filsafat hukum Islam
            Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan perbankan konvensional mengandung riba. Sementara hal tersebut dilarang oleh agama Islam.  Bahkan agama lain juga melarang riba.
Pendapat tentang bunga bank adalah riba memang para ulama terjadi berbeda pendapat. Ada para ulama berpendapat haram, ada juga berpendapat syubhat (samar) dan adanya juga mengganggap halal. Namun demikian  Allah berfirman dalam Al Qur’an yang artinya :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275).
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron : 130).
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Allah Ta’ala melarang hamba-hambanya-Nya kaum mu’minin dari praktek dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu orang-orang jahiliyah bila piutang telah jatuh tempo, mereka berkata kepada yang berutang, “Engkau melunasi hutangmu atau membayar riba”. Bila ia tidak melunasinya, maka pemberi hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali lipat. Dan pada ayat ini Allah ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di akhirat”[8].
Riba menurut bahasa memiliki beberapa pengertian, yaitu:[9]
  1. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
  2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan orang lain.
  3. Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, riba menurut Al Mali adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya.[10]
Menurut Abdurrahma al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya) karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.[11]
Ada 11 (sebelas) alasan diharamkannya Riba, yaitu:[12]
  1. Pemakan riba akan dihinakan dihadapan seluruh makhluk, yaitu ketika ia dibangkitkan dari kuburannya, ia dibangkitkan dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan bagaikan orang kesurupan lagi gila. Ibnu Abbas berkata “Pemakan riba akan dibangkitkan dari kuburannya dalam keadaan gila dan tercekik”.
  2. Penegasan bahwa riba diharamkan oleh Allah Ta’ala, sehingga tidak termasuk ke dalam perniagaan yang nyata-nyata dihalalkan.
  3. Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktek riba setelah datang kepadanya penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syari’at Islam, akan dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekedar masuk ke dalamnya, akan tetapi dinyatakan pada ayat diatas, bahwa “ia kekal di dalamnya”.
Dalam banyak hadist, Rasulullah nyata-nyata menyebutkan perbuatan memakan riba sebagai perbuatan dosa besar.
“Dari sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, Jauhilah olehmu tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka) “, para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah dosa-dosa itu “. Beliau bersabda, “Mensekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan dan menuduh wanita mu’min yang menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia telah zina. (Muttafaqun ‘alaih”).
Penegasan bahwa Allah akan menghapuskan dan memusnahkan riba. Ibnu Katsir berkata “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba, maksudnya bisa saja memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan kemampuan harta ribanya, bahkan Alllah akan membinasakannya dengan harta tersebut dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah akan menyiksakanya akibat harta tersebut”. Penafisran Ibnu Katsir ini semakna dengan hadist berikut yang artinya:
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya pada akhirnya akan menjadi sedikit”. (HR. Imam Ahmad Ath-Thabrani, Al-Hakim, dihasankan oleh Ibnu Hajar dan shahihkan (al-Albani)”.
Allah Ta’ala mensifati pemakan riba sebagai “Orang yang senatiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa”. Ibnu Katsir berkata”Sesungguhnya pemakan riba tidak rela dengan pembagian Allah untuknya, berupa rizki yang halal, dan merasa tidak cukup dengan syari’at Allah yang telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan yang halal. Oleh karenanya, ia berusaha untuk mengeruk harta orang lain dengan cara-cara yang bathil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian sikapnya merupakan pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan dan amat zhalim lagi berlaku dosa, yang senantiasa memakan harta orang lain.
Allah Ta’ala memerintahkan kaum muslimin agar bertakwa, dan hakikat ketakwaan adalah menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan. Bukan hanya hal-hal yang nyata-nyata haram, bahkan hal-hal yang tergolong sebagai subhat, Rasulullah memerintahkan ummatnya untuk meninggalkannya.
Perintah tegas agar meninggalkan riba. Dan dari perintah tegas semacam inilah disimpulkan wajibnya sesuatu. Dengan demikian meninggalkan riba adalah wajib hukumnya. Bila suatu hal telah diwajibkan untuk ditinggalkan maka tidak diragukan lagi akan diharamannya.
Allah menjadikan perbuatan meninggalkan riba sebagai bukti akan keimanan seseorang, dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tetap memakan riba berarti imannya cacat dan tidak sempurna.
Allah Ta’ala mengumandangkan peperangan dengan orang-orang yang enggan meninggalkan riba. Allah berfirman:
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu (QS. Al-Baqarah: 279).
Allah Ta’ala mensifati orang yang berhenti dari memungut riba dan hanya memungut modalnya (uang pokoknya) saja, dengan firman-Nya, “Kamu tidak menganianya dan tidak pula dianiaya”. Dari penggalan makna ayat ini dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang yang memungut riba berarti ia telah berbuat zhalim atau aniaya terhadap saudaranya karena ia telah mengambil sebagian dari hartanya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam syari’at.
Allah Ta’ala menjadikan riba sebagai lawan dari shadaqah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Allah Yang Maha Suci telah menyebutkan sikap seluruh manusia dalam hal harta benda pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu terbagi menjadi tiga bagian: Adil, Zhalim, dan keutamaan berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang bersedekah dan menyebutkan pahala mereka, Dia mencela pemakan riba dan menyebutkan hukuman mereka dan Dia membolehkan jual beli serta hutang piutang hingga tempo yang telah ditentukan.
Berdasarkan sebelas alasan  di atas, sangat jelas riba dilarang dan diharamkan dalam Islam, termasuk dalam kegiatan bank konvensional yang menerapkan bunga. Sementara di Indonesia mayoritas masyarakatnya beragama Islam, maka perlu ada suatu perbankan yang kegiatannya tidak mengandung riba. Artinya perbankan yang dalam kegiatannya menerapkan prinsip-prinsip Islam yaitu perbankan syari’ah,  suatu perbankan yang pelaksanaannya didasarkan pada hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul karena bagi umat Islam Al Qur’an dan Sunnah Rasul adalah mutlak ditaati dan dipedomani dalam kehidupan sehari-hari.  Dalam Al Quran Allah berfirman yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Surat : An-Nisaa Ayat : 59).
Ayat yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa sebagai umat Islam harus taat kepada Allah termasuk termasuk hukum  Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya terhadap Allah SWT. Keimanan akan wujud Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat, kodrat dan iradat Allah. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan satu bentuk dari iradat Allah dan karena itu, maka kepatuhan menjalankan aturan Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah, merupakan perwujudan dari iman kepada Allah.
Menurut Mahmud Syaltout, Al Quran dan Sunnah  Rasul mengandung ajaran-ajaran tentang akidah dan Syari’ah. Kemudian Syari’ah itu sendiri terdiri dari ibadah dan muamalah.[13]
Ajaran tentang akidah berkaitan dengaan persoalan keimanan dan keyakinan seseorang terhadap eksistensi Allah, para Malaikat, Rasul, Kitab Suci yang diturunkan Allah, tentang hari Kiamat dan lain sebagainya. Ajaran tenatang akidah ini bersifat permanen, pasti, dan tidak berubah disebabkan terjadinya perubahan sosial kultural manusia. Sedangkan ajaran tentang muamalah berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang terkandung oleh Al Quran dan as Sunnah. Itulah sebabnya bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai Ketuhanan.[14]
Kata muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.[15]  Dalam arti sempit muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda. Sedangkan dalam arti luas muamalah adalah aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.[16]
Namun demikian konteks muamalah harus senantiasa dalam rangka pengabdian kepada Allah. Artinya tidak boleh lepas dari ketentuan yang telah Allah gariskan dalam Al Quran, as Sunnah Nabi, ijtihad ulama  atau sering disebut dengan hukum Islam sebagaimana Allah berfirman dalam Surat az-Zariyat, 51 : 56 yang artinya berbunyi:
“Dan aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu…”
Salah satu contoh kegiatan Muamalah adalah Mudharabah (kerjasama bagi hasil). Konsep Mudharabah inilah yang melahirkan Bank Syari’ah di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tenang Perbankan, yaitu:
Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegaiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).  

Kelahiran Bank Syari’ah (Bank Islam) dilandasi bahwa segala sesuatu aktivitas seorang muslim harus didasarkan kepada syariat Islam. Islam tidak hanya mengatur mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadat), tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia (muamalat).
Mudharabah berasal dari kata dharb artinya memukul atau lebih tepatnya proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Secara teknis mudharabah adalah kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional dari jumlah modal, yaitu oleh pemilik modal. Kerugian yang timbul disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[17] Mudharabah adalah akad yang dibolehkan dalam syariah Islam berdasarlan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ dan para fuqaha.
Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharabah atau qiradh adalah pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan sedangkan keuntungan itu menjadi milik bersama dibagi menurut kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal.[18] Kerugian yang timbul disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
            Kalimat “keuntungan menjadi milik bersama” menjelaskan bahwa wakil bukanlah mudharib (pengelola mudharabah). Sebab keduanya memperoleh keuntungan bersama adalah karena pemilik modal berhak memperoleh keuntungan disebabkan modal yang ia berikan, karena keuntungan itu adalah hasil dari pertumbuhan modalnya. Sementara mudharib (pengelola) juga berhak memperoleh keuntungan disebabkan pekerjaannya yang menyebabkan adanya keuntungan.[19]
Mudharabah ada dua jenis, yaitu muthlaqah dan muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah seseorang yang memberikan modal kepada yang lain tanpa syarat tertentu. Dia berkata “Saya memberikan modal ini kepadamu untuk dilakukan mudharabah dan keuntungannya untuk kita bersama secara merata”, atau dibagi tiga (dua pertiga dan sepertiga), dan sebagainya. Atau dapat pula seseorang yang memberikan modalnya secara akad mudharabah tanpa menentukan pekerjaa, temapt, waktu, sifat pekerjaannya, dan sipa yang boleh berinteraksi denagannya. Sedangkan mudharabah muqayyadah yang pemilik modal menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilikk modal memberikan seribu dinar; misalnya, pada orang lain untuk mudharabah dengan syarat agar mengelolanya di negeri tertentu, atau barang tertentu, atau tidak menjual dan membeli kecuali dari orang tertentu.[20]
Akad  mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutar uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk saling bekerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.[21]
Secara umum dasar hukum mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, sebagai berikut:[22]
a. Menurut Al  Qur’an :
1)   Surat al-Muzzammil, 73 : 20 yang artinya:  “…dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah…
2)   Surat Al-jumuah, 62 : 10 yang artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah”.
3)   Surat al-Baqarah, 2 : 198 berbunyi yang artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…”
Ayat-ayat diatas, jelas menunjukkan secara umun mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara kerjasama mencari rezki yang ditebarkan Allah di atas bumi.
b. Menurut Hadis
Diriwayatkan dari dari “Abbas ibn “Abd al Muthalib yang artinya:
Tuan kami ‘Abbas ibn ‘al Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn Abd Muthalib ini sampai kepada Rasulullah dan Rasul membolehkannya (HR. ath-Thabrani).
 Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah dari Allah, yaitu: menjual dengan kredit, mudharabah, hasil keringat sendiri” (HR. Ibn Majah).. 
Di samping itu, para ulama juga beralasan dengan praktik mudharabah yang dilakukan sebagian sahabat, sementara sahabat lain tidak membantahnya, bahkan harta yang dilakukan secara mudharabah itu di zaman mereka kebannyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat, hadist, dan praktek para sahabat itu, para ulama fiqh menetapkan bahwa akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka hukumnya adalah boleh.
Rukun mudharabah adalah pemodal, pengelola, modal, nisbah keuntungan dan sighat atau akad.[23]  Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas[24].
Adapun syarat-syarat mudharabah adalah:[25]
  1. Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik odal. Itulah sebabnya, syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
  2. Yang terkait dengan modal disyaratkan : (a) berbentuk uang, (b) jelas jumlahnya, (c) tunai dan (d) diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal tersebut berbentuk barang, menurut para ulama fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila  modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usaha itu.
  3. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang itu seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama Hanafiyah, akan itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugian tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Dengan demikian kaitan antara Islam dan perbankan menjadi perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk memungut maupun meminjami dengan perhitungan bunga (riba) dan larangan berinvestasi di dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan barang yang tidak Islami (haram).
Untuk itu, adanya perkembangan perbankan syari’ah menjadi fenomena baru dalam sistem perbakan nasional. Munculnya para pemain baru (new comers) mengindikasikan bank syari’ah mempunyai prospek yang cerah dan pasar yang sangat potensial. Hingga kini tercatat tiga Bank Umum Syari’ah (BUS) dan 19 Unit Uaha Syari’ah (UUS) dengan jaringan 522 Kantor Cabang (KC), termasuk kantor kas dan 156 unit Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah.[26]
Akan tetapi perkembangan perbankan syari’ah secara institusi tidak dibarengi tingginya sikap masyarakat yang secara masif menyimpan dananya di bank syari’ah. Tahun 2008, bank Indonesia menetapkan target pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia pada kisaran 5,2 %, tetapi sampai sekarang, baru menyentuh level 3 % dengan jumlah asset ± 72 triliun. Jumlah aset perbankan syari’ah saat ini belum optimal mengingat pangsa pasar syari’ah di Indonesia sangat luas.[27]
Berdasarkan hal di atas, sangat jelas bahwa konsep muamalah sebagai filosofis lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank Islam), karena dalam Islam, selain ada ajaran akidah ada juga ajaran syari’ah. Sedangkan ajaran syari’ah terdiri dari ibadah dan muamalah. Ajaran muamalah dapat berupa hubungan-hubungan  manusia dengan manusia yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang keuangan dan perbankan yang merupakan bagian dari kegiatan perekonomian dan karena pada dan  zaman modern ini, kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, lembaga perbankan inipun wajib diadakan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar