Bank Syariah
Oleh Fajar Maulana
Kajian Fiqh Islam: Dasar Hukum Jual Beli (البيع والشراء).
Al-Qur`an dan Hadits telah membahas tentang praktek jual beli sebagai salah satu transaksi muamalah yang ada dalam sistem ekonomi Islam.
Al-Qur`an dan Hadits telah membahas tentang praktek jual beli sebagai salah satu transaksi muamalah yang ada dalam sistem ekonomi Islam.
Jual Beli Menurut al-Quran
Terdapat beberapa ayat al-Qur`an yang membahas tentang jual beli, 2 di antaranya yang sangat populer dijadikan sebagai landasan dasar hukum jual beli dalam persfektif hukum fiqh muamalah, yaitu:
Terdapat beberapa ayat al-Qur`an yang membahas tentang jual beli, 2 di antaranya yang sangat populer dijadikan sebagai landasan dasar hukum jual beli dalam persfektif hukum fiqh muamalah, yaitu:
…وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا…
Artinya: ….. padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….(surah al-Baqarah 2:275)
Artinya: ….. padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….(surah al-Baqarah 2:275)
Berdasarkan QS. al-Baqarah 2:275
di atas, Allah telah memberikan label HALAL pada transaksi Jual Beli
dan memberikan cap HARAM kepada transaksi Riba (الرِّبَا).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟
أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ
ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Surah an-Nisa` 4:29)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Surah an-Nisa` 4:29)
Jika melihat penjelasan dalam QS.
an-Nisa` 4:29 di atas, Secara tegas, Allah telah memberikan peringatan LARANGAN
untuk perbuatan ilegal memakan harta orang lain tanpa proses perniagaan yg sah
(التجارة). Bahkan ayat ini disambung dengan kalimat LARANGAN
pembunuhan diri sendiri. (Silahkan perdalam pada kategori al-Qur`an
tentang konektivitas ayat per ayat (hubungan antara satu ayat dengan ayat
lainnya dalam al-Qur`an)
Jual Beli Menurut Hadits
Selain ditemukan di dalam al-Qur`an, dasar Hukum tentang Jual Beli dapat juga ditemukan melalui penelusuran Hadits Rasulullah. Beberapa di antaranya seperti:
Selain ditemukan di dalam al-Qur`an, dasar Hukum tentang Jual Beli dapat juga ditemukan melalui penelusuran Hadits Rasulullah. Beberapa di antaranya seperti:
Hadits yg disampaikan oleh Rifa`ah ibn Rafi` bahwa: Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat
Nabi mengenai pekerjaan (Profesi) apa yg paling baik? Dijawab oleh Rasulullah
saat itu dg: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli
yg diberkati. (HR al-Baz-zar dan al-Hakim)
Hadits lain yg diriwayatkan oleh at-Tirmizi, Rasulullah bersabda: Pedagang yg jujur dan
terpercaya itu sejajar (tempatnya di surga) para Nabi,
Para Shiddiqin (orang yg membenarkan Nabi), Para Syuhada (Orang yg mati syahid di jalan Allah).
Selain itu, hadits yg disampaikan
oleh Abi Sa`id al-Khudri dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibn Majah, dan Ibn Hibban, bahwa Rasulullah SAW Bersabda:
Innamal Bai`a `an Taroodin (sesungguhnya
jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka)
Hukum Jual Beli
Berdasarkan beberapa ayat al-Quran dan Hadis Nabi di atas, maka para Ulama Fiqh menfatwakan bahwa hukum asal jual beli itu adalah mubah (boleh dilakukan).
Berdasarkan beberapa ayat al-Quran dan Hadis Nabi di atas, maka para Ulama Fiqh menfatwakan bahwa hukum asal jual beli itu adalah mubah (boleh dilakukan).
Hukum mubah jual beli bahkan bisa berubah menjadi hukum wajib pada
kondisi tertentu. Seperti dijelaskan oleh Imam asy-Syatibi (pakar fiqh Maliki, 790 H), ketika terjadi praktek nakal oleh para pedagang
besar (cukong, bos, toke besar, agen produk) yg melakukan penimbunan barang (ihtikar) sehingga stok barang hilang dari peredaran pasar dan
membuat harga melonjat naik, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang untuk
menjual barang yg ditimbunnya sesuai harga sebelum terjadi kenaikan harga.
Menurut Asy-Syatibi: Pedagang tersebut hukumnya wajib menjual barangnya sesuai
ketentuan pemerintah.
2. Lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank Islam) di Indonesia[6]
Konsep teoritis mengenai bank
Islam muncul pertama kali pada tahun 1940- an, dengan gagasan mengenai
perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini, dapat disebutkan
pemikiran-pemikiran dari beberapa penulis, antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem
Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai
gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan,
yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).
Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya
yang berjudul; A Groundwork for Interest Free Bank.
Sementara itu, ide pendirian bank
syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank
syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan
1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan
(LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya
umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak
saat itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendikiawan
muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat
terjadi perdebatan mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat, pajak dikalangan
para ulama, cendikiawan, dan intelektual muslim.
Kemudian gagasan mengenai bank
syariah itu muncul lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Para
ulama pada saat itu berusaha mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada
satupun perangkat hukum yang bisa dijadikan dasar, kecuali bahwa perbankan
dapat saja menetapkan bunga sebesar 0 %. Setelah adanya rekomendasi dari
lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 18-20
Agustus 1990, maka dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI
tersebut, maka dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di
Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi
tugas untuk melakukan pedekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan
MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muammalat Indonesia, yang sesuai akte
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, Bank
Muamalat Indonesia resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp
106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah
memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar diseluruh wilayah
Indonesia. Dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh
menteri Kabinet Pembangunan V, juga Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila,
Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL, dan PT
Pindad. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan ditetapkan sebagai Yayasan penompang
Bank Muammalat Indonesia. Dengan terkumpulnya modal awal tersebut, pada tanggal
1 Mei 1992, Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi.
Setelah Bank Muammalat Indonesia
mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip syariah pertama di
Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan mempraktekkan
sistem syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi. Namun
karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan
pemerintah yang tayangan-tayangannya bahkan masuk ke pelosok desa dan kecamatan
untuk menyedot dana dari masyarakat, membuat Bank Muammalat Indonesia hampir
tidak bisa berbuat banyak, apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat
yang jauh dari kota-kota besar. Kenyataan tersebut barangkali menjadikan Bank
Muammalat Indonesia kemudian belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat
muslim lapisan bawah yang selama berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh kebijakan
pemerintah yang memihak kepada mereka. Secara yuridis, walaupun pembicaraan-pembicaraan
tentang bank berdasarkan prinsip syariah sudah lama ada di Indonesia, akan
tetapi momentum akan lahirnya bank-bank yang bergerak dibidang berdasarkan
prinsip syariah tersebut baru ada setelah lahirnya Undang-undang Perbankan
Nomor 10 Tahun 1998.
Memang Undang-undang Perbankan
Nomor 7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 seakan-akan memukul gong terhadap lahirnya bank berdasarkan prinsip
syariah tersebut. Sebab menurut Pasal 6 huruf (m) juncto Pasal 13 huruf (c)
dari undang-undang tersebut dengan tegas membuka kemungkinan bagi bank untuk
melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya, baik untuk
bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Kegiatan pembiayaan bagi hasil
tersebut kemudian oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diperluas menjadi
kegiatan apapun dari bank berdasarkan prinsip syariat yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia (dalam undang-undang yang lama ditetapkan oleh peraturan pemerintah).
Dengan demikian, Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) dari Undang-undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 sekarang merupakan dasar hukum yang utama bagi
eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah. Dalam Pasal 6 huruf (m) tersebut
berbunyi :
“Usaha bank meliputi: menyediakan pembiayaan
dan/ atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 13 huruf
(c) berbunyi:
“Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:
menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Sebagai pengejawantahan dari
dasar hukum utama dari Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, oleh Pemerinah Republik
Indonesia telah dikeluarkan dasar hukum bagi bank berdasarkan prinsip syariah
dalam bentuk peraturan pemerintah, yakni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Adapun yang menjadi dasar-dasar Bank
Bagi Hasil yang disebutkan dalam Peraturan Pemerinah Nomor 72 Tahun 1992
tersebut adalah sebagai berikut:
- Kegiatan bank berdasarkan
syariah dapat dilakukan oleh Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat (Pasal
1 ayat(1))
- Jika Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat sudah melakukan kegiatan bank berdasarkan syariah, maka
dia tidak boleh lagi merangkap melakukan juga kegiatan-kegiatan lainnya
(kegiatan konvensional) (pasal ayat (1) juncto Pasal 6.
- Bank berdasarkan syariah
melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam (Pasal
2 ayat (1)) 4. Bagi hasil bagi penyediaan dana kepada masyarakat termasuk
juga kegiatan jualbeli (Pasal 2 ayat (2)) 5. Bank berdasarkan syariah
wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariat.
Adapun tujuan pengembangan Perbankan
Syariah di Indonesia adalah sebagai berikut:[7]
- Memenuhi kebutuhan
jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep bunga.
- Menyediakan alternatif
investasi, pembiayaan dan jasa keuangan lainnya.
- Mengurangi resiko sistemik
dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia.
- Mendorong peran perbankan
secara optimal dalam menggerakka sektor riil dan membatasi spekulasi atau
pembiayaan yang tidak produktif.
Dengan demikian dapat diketahui
bahwa bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia telah ada sebelum di
undangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, hal ini dapat
dilihat dari ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian menjadi tonggak dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
3. Perbankan Syari’ah
Indonesia di tinjau dari filsafat hukum Islam
Sebagaimana diketahui bahwa
kegiatan perbankan konvensional mengandung riba. Sementara hal tersebut
dilarang oleh agama Islam. Bahkan agama lain juga melarang riba.
Pendapat tentang bunga bank
adalah riba memang para ulama terjadi berbeda pendapat. Ada para ulama
berpendapat haram, ada juga berpendapat syubhat (samar) dan adanya juga
mengganggap halal. Namun demikian Allah berfirman dalam Al Qur’an yang
artinya :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275).
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba yang berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu
beruntung.” (QS. Ali Imron : 130).
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan
ayat ini berkata, “Allah Ta’ala melarang hamba-hambanya-Nya kaum mu’minin dari
praktek dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu orang-orang
jahiliyah bila piutang telah jatuh tempo, mereka berkata kepada yang berutang,
“Engkau melunasi hutangmu atau membayar riba”. Bila ia tidak melunasinya, maka
pemberi hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah
pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang
sedikit menjadi berlipat ganda hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali
lipat. Dan pada ayat ini Allah ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa
bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di akhirat”[8].
Riba menurut bahasa memiliki
beberapa pengertian, yaitu:[9]
- Bertambah, karena salah satu
perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
- Berkembang, berbunga, karena
salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya
yang dipinjamkan orang lain.
- Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, riba
menurut Al Mali adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang
tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau
dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya.[10]
Menurut Abdurrahma al-Jaiziri,
yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu,
tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah
satunya. Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba
ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya) karena pengunduran janji
pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.[11]
Ada 11 (sebelas) alasan
diharamkannya Riba, yaitu:[12]
- Pemakan riba akan dihinakan
dihadapan seluruh makhluk, yaitu ketika ia dibangkitkan dari kuburannya,
ia dibangkitkan dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan bagaikan
orang kesurupan lagi gila. Ibnu Abbas berkata “Pemakan riba akan dibangkitkan dari kuburannya dalam keadaan gila
dan tercekik”.
- Penegasan bahwa riba
diharamkan oleh Allah Ta’ala, sehingga tidak termasuk ke dalam perniagaan
yang nyata-nyata dihalalkan.
- Ancaman bagi orang yang
tetap menjalankan praktek riba setelah datang kepadanya penjelasan dan
setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syari’at Islam, akan
dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekedar masuk ke dalamnya, akan tetapi
dinyatakan pada ayat diatas, bahwa “ia kekal di dalamnya”.
Dalam banyak hadist, Rasulullah
nyata-nyata menyebutkan perbuatan memakan riba sebagai perbuatan dosa besar.
“Dari sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
bersabda, Jauhilah olehmu tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan (pelakunya
ke dalam neraka) “, para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah dosa-dosa itu
“. Beliau bersabda, “Mensekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta anak yatim, memakan
riba, melarikan diri dari medan peperangan dan menuduh wanita mu’min yang
menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia telah zina. (Muttafaqun ‘alaih”).
Penegasan bahwa Allah akan
menghapuskan dan memusnahkan riba. Ibnu Katsir berkata “Allah Ta’ala
mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba, maksudnya bisa saja memusnahkannya
secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau menghalangi pemiliknya dari
keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan
kemampuan harta ribanya, bahkan Alllah akan membinasakannya dengan harta
tersebut dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah akan
menyiksakanya akibat harta tersebut”. Penafisran Ibnu Katsir ini
semakna dengan hadist berikut yang artinya:
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak
jumlahnya pada akhirnya akan menjadi sedikit”. (HR. Imam Ahmad Ath-Thabrani,
Al-Hakim, dihasankan oleh Ibnu Hajar dan shahihkan (al-Albani)”.
Allah Ta’ala mensifati pemakan
riba sebagai “Orang yang senatiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan
selalu berbuat dosa”. Ibnu
Katsir berkata”Sesungguhnya pemakan riba tidak rela dengan pembagian Allah untuknya,
berupa rizki yang halal, dan merasa tidak cukup dengan syari’at Allah yang
telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan yang halal. Oleh
karenanya, ia berusaha untuk mengeruk harta orang lain dengan cara-cara yang
bathil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian sikapnya
merupakan pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan dan amat zhalim lagi
berlaku dosa, yang senantiasa memakan harta orang lain.
Allah Ta’ala memerintahkan kaum
muslimin agar bertakwa, dan hakikat ketakwaan adalah menjalankan segala
perintah dan meninggalkan segala larangan. Bukan hanya hal-hal yang nyata-nyata
haram, bahkan hal-hal yang tergolong sebagai subhat, Rasulullah memerintahkan
ummatnya untuk meninggalkannya.
Perintah tegas agar meninggalkan riba.
Dan dari perintah tegas semacam inilah disimpulkan wajibnya sesuatu. Dengan
demikian meninggalkan riba adalah wajib hukumnya. Bila suatu hal telah
diwajibkan untuk ditinggalkan maka tidak diragukan lagi akan diharamannya.
Allah menjadikan perbuatan meninggalkan
riba sebagai bukti akan keimanan seseorang, dengan demikian dapat dipahami
bahwa orang yang tetap memakan riba berarti imannya cacat dan tidak sempurna.
Allah Ta’ala mengumandangkan
peperangan dengan orang-orang yang enggan meninggalkan riba. Allah berfirman:
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu (QS.
Al-Baqarah: 279).
Allah Ta’ala mensifati orang yang
berhenti dari memungut riba dan hanya memungut modalnya (uang pokoknya) saja,
dengan firman-Nya, “Kamu tidak menganianya dan
tidak pula dianiaya”. Dari
penggalan makna ayat ini dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang yang memungut
riba berarti ia telah berbuat zhalim atau aniaya terhadap saudaranya karena ia
telah mengambil sebagian dari hartanya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan
dalam syari’at.
Allah Ta’ala menjadikan riba
sebagai lawan dari shadaqah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Allah Yang Maha
Suci telah menyebutkan sikap seluruh manusia dalam hal harta benda pada akhir
surat Al-Baqarah, yaitu terbagi menjadi tiga bagian: Adil, Zhalim, dan
keutamaan berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang bersedekah dan
menyebutkan pahala mereka, Dia mencela pemakan riba dan menyebutkan hukuman
mereka dan Dia membolehkan jual beli serta hutang piutang hingga tempo yang
telah ditentukan.
Berdasarkan sebelas alasan
di atas, sangat jelas riba dilarang dan diharamkan dalam Islam, termasuk dalam
kegiatan bank konvensional yang menerapkan bunga. Sementara di Indonesia mayoritas
masyarakatnya beragama Islam, maka perlu ada suatu perbankan yang kegiatannya
tidak mengandung riba. Artinya perbankan yang dalam kegiatannya menerapkan
prinsip-prinsip Islam yaitu perbankan syari’ah, suatu perbankan yang
pelaksanaannya didasarkan pada hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan
Sunnah Rasul karena bagi umat Islam Al Qur’an dan Sunnah Rasul adalah mutlak
ditaati dan dipedomani dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al Quran Allah
berfirman yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah
dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya (Surat : An-Nisaa Ayat : 59).
Ayat yang disebutkan di atas,
menunjukkan bahwa sebagai umat Islam harus taat kepada Allah termasuk termasuk
hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya
sebagai kelanjutan dari keimanannya terhadap Allah SWT. Keimanan akan wujud
Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat, kodrat dan iradat Allah. Aturan
Allah tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan satu bentuk dari
iradat Allah dan karena itu, maka kepatuhan menjalankan aturan Allah yang
tertuang dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah, merupakan perwujudan dari iman
kepada Allah.
Menurut Mahmud Syaltout, Al Quran
dan Sunnah Rasul mengandung ajaran-ajaran tentang akidah dan Syari’ah.
Kemudian Syari’ah itu sendiri terdiri dari ibadah dan muamalah.[13]
Ajaran tentang akidah berkaitan
dengaan persoalan keimanan dan keyakinan seseorang terhadap eksistensi Allah,
para Malaikat, Rasul, Kitab Suci yang diturunkan Allah, tentang hari Kiamat dan
lain sebagainya. Ajaran tenatang akidah ini bersifat permanen, pasti, dan tidak
berubah disebabkan terjadinya perubahan sosial kultural manusia. Sedangkan
ajaran tentang muamalah berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara
sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan
ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang terkandung oleh Al Quran dan as Sunnah.
Itulah sebabnya bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai
Ketuhanan.[14]
Kata muamalah berasal dari bahasa Arab yang
secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini
menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang
atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.[15] Dalam arti sempit
muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan
harta benda. Sedangkan dalam arti luas muamalah adalah aturan-aturan hukum
Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam
pergaulan sosial.[16]
Namun demikian konteks muamalah
harus senantiasa dalam rangka pengabdian kepada Allah. Artinya tidak boleh
lepas dari ketentuan yang telah Allah gariskan dalam Al Quran, as Sunnah Nabi,
ijtihad ulama atau sering disebut dengan hukum Islam sebagaimana Allah
berfirman dalam Surat az-Zariyat, 51 : 56 yang artinya berbunyi:
“Dan aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepadaKu…”
Salah satu contoh kegiatan
Muamalah adalah Mudharabah (kerjasama bagi hasil). Konsep Mudharabah inilah yang
melahirkan Bank Syari’ah di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka
13 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tenang Perbankan, yaitu:
“Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegaiatan usaha,
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Kelahiran Bank Syari’ah (Bank
Islam) dilandasi bahwa segala sesuatu aktivitas seorang muslim harus didasarkan
kepada syariat Islam. Islam tidak hanya mengatur mengenai hubungan antara
manusia dengan Tuhan (ibadat), tetapi juga mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia (muamalat).
Mudharabah berasal dari kata dharb artinya memukul atau lebih
tepatnya proses seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Secara
teknis mudharabah adalah kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama
(shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung secara
proporsional dari jumlah modal, yaitu oleh pemilik modal. Kerugian yang timbul
disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[17] Mudharabah adalah akad yang
dibolehkan dalam syariah Islam berdasarlan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ dan
para fuqaha.
Secara terminologi, para ulama
fiqh mendefinisikan mudharabah atau qiradh adalah pemilik modal menyerahkan
modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan sedangkan keuntungan
itu menjadi milik bersama dibagi menurut kesepakatan bersama. Apabila terjadi
kerugian dalam perdagangan, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik
modal.[18] Kerugian yang timbul
disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kalimat “keuntungan menjadi milik
bersama” menjelaskan bahwa wakil bukanlah mudharib (pengelola mudharabah). Sebab
keduanya memperoleh keuntungan bersama adalah karena pemilik modal berhak
memperoleh keuntungan disebabkan modal yang ia berikan, karena keuntungan itu
adalah hasil dari pertumbuhan modalnya. Sementara mudharib (pengelola) juga berhak
memperoleh keuntungan disebabkan pekerjaannya yang menyebabkan adanya
keuntungan.[19]
Mudharabah ada dua jenis, yaitu muthlaqah dan muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah
seseorang yang memberikan modal kepada yang lain tanpa syarat tertentu. Dia
berkata “Saya memberikan modal ini kepadamu untuk dilakukan mudharabah dan
keuntungannya untuk kita bersama secara merata”, atau dibagi tiga (dua pertiga
dan sepertiga), dan sebagainya. Atau dapat pula seseorang yang memberikan
modalnya secara akad mudharabah tanpa menentukan pekerjaa, temapt, waktu, sifat
pekerjaannya, dan sipa yang boleh berinteraksi denagannya. Sedangkan mudharabah
muqayyadah yang pemilik modal menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilikk
modal memberikan seribu dinar; misalnya, pada orang lain untuk mudharabah
dengan syarat agar mengelolanya di negeri tertentu, atau barang tertentu, atau
tidak menjual dan membeli kecuali dari orang tertentu.[20]
Akad mudharabah dibolehkan
dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan
seorang pakar dalam memutar uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak
pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak pula para
pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas
dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan
untuk saling bekerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang terampil
dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.[21]
Secara umum dasar hukum
mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, sebagai berikut:[22]
a. Menurut Al Qur’an :
1) Surat
al-Muzzammil, 73 : 20 yang artinya: “…dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah…
2) Surat Al-jumuah,
62 : 10 yang artinya: “Apabila telah ditunaikan
shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah”.
3) Surat al-Baqarah,
2 : 198 berbunyi yang artinya: “Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…”
Ayat-ayat diatas, jelas
menunjukkan secara umun mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara kerjasama
mencari rezki yang ditebarkan Allah di atas bumi.
b. Menurut Hadis
Diriwayatkan dari dari “Abbas ibn
“Abd al Muthalib yang artinya:
“Tuan kami ‘Abbas ibn ‘al Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada
seseorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia
mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga
jangan menempuh lembah-lembah dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit
tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola
modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‘Abbas ibn Abd
Muthalib ini sampai kepada Rasulullah dan Rasul membolehkannya (HR.
ath-Thabrani).
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah dari Allah,
yaitu: menjual dengan kredit, mudharabah, hasil keringat sendiri” (HR. Ibn
Majah)..
Di samping itu, para ulama juga
beralasan dengan praktik mudharabah yang dilakukan sebagian sahabat, sementara
sahabat lain tidak membantahnya, bahkan harta yang dilakukan secara mudharabah
itu di zaman mereka kebannyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu,
berdasarkan ayat, hadist, dan praktek para sahabat itu, para ulama fiqh
menetapkan bahwa akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya,
maka hukumnya adalah boleh.
Rukun mudharabah adalah pemodal, pengelola,
modal, nisbah keuntungan dan sighat atau akad.[23] Sedangkan imam Al
Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada lima,
yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku
transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali
kepada tiga rukun diatas[24].
Adapun syarat-syarat mudharabah
adalah:[25]
- Yang terkait dengan orang
yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan
cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan
mengelola modal adalah wakil dari pemilik odal. Itulah sebabnya,
syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad
mudharabah.
- Yang terkait dengan modal
disyaratkan : (a) berbentuk uang, (b) jelas jumlahnya, (c) tunai dan (d)
diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu,
jika modal tersebut berbentuk barang, menurut para ulama fiqh tidak
dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga
halnya dengan utang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi,
jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal pada pedagang, boleh
dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang
sebagiannya oleh pemilik modal dalam artian tidak diserahkan seluruhnya,
menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak
sah. Akan tetapi ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu
berada di tangan pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usaha
itu.
- Yang terkait dengan
keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian
masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang itu seperti setengah,
sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas,
menurut ulama Hanafiyah, akan itu fasid (rusak). Demikian juga halnya,
apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama,
menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan kerugian tetap
ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Dengan demikian kaitan antara
Islam dan perbankan menjadi perbankan syariah merupakan suatu sistem perbankan
yang dikembangkan berdasarkan hukum Islam. Dimana usaha ini didasari oleh
larangan Islam untuk memungut maupun meminjami dengan perhitungan bunga (riba)
dan larangan berinvestasi di dalam usaha-usaha yang berkaitan dengan media dan
barang yang tidak Islami (haram).
Untuk itu, adanya perkembangan
perbankan syari’ah menjadi fenomena baru dalam sistem perbakan nasional.
Munculnya para pemain baru (new
comers) mengindikasikan bank syari’ah
mempunyai prospek yang cerah dan pasar yang sangat potensial. Hingga kini
tercatat tiga Bank Umum Syari’ah (BUS) dan 19 Unit Uaha Syari’ah (UUS) dengan
jaringan 522 Kantor Cabang (KC), termasuk kantor kas dan 156 unit Bank
Perkreditan Rakyat Syari’ah.[26]
Akan tetapi perkembangan
perbankan syari’ah secara institusi tidak dibarengi tingginya sikap masyarakat
yang secara masif menyimpan dananya di bank syari’ah. Tahun 2008, bank
Indonesia menetapkan target pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia pada
kisaran 5,2 %, tetapi sampai sekarang, baru menyentuh level 3 % dengan jumlah
asset ± 72 triliun. Jumlah aset perbankan syari’ah saat ini belum optimal
mengingat pangsa pasar syari’ah di Indonesia sangat luas.[27]
Berdasarkan hal di atas, sangat
jelas bahwa konsep muamalah sebagai filosofis lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank
Islam), karena dalam Islam, selain ada ajaran akidah ada juga ajaran syari’ah.
Sedangkan ajaran syari’ah terdiri dari ibadah dan muamalah. Ajaran muamalah
dapat berupa hubungan-hubungan manusia dengan manusia yang dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang keuangan dan perbankan yang
merupakan bagian dari kegiatan perekonomian dan karena pada dan zaman
modern ini, kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga
perbankan, lembaga perbankan inipun wajib diadakan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar