SENI RUPA TRADISIONAL
DAN KONTEMPORER
Karya Lukis Kontemporer dari Semsar Siahaan, diambil
dari http://cemara6galeri.wordpress.com/event-2008/mengenang-semsar/http://cemara6galeri.wordpress.com/event-2008/mengenang-semsar/
Karya Seni Rupa Tradisional, diambil dari
http://www.babadbali.com/seni/drama/dt-drama-gong.htmhttp://www.babadbali.com/seni/drama/dt-drama-gong.htm
A. Seni Rupa Tradisional
Istilah tradisional berasal
dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu institusi, artefak, kebiasaan
atau prilaku yang didasarkan pada tata aturan atau norma tertentu baik secara
tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara
singkat dapat dikatakan bahwa karya seni rupa tradisional adalah karya seni
rupa yang bentuk dan cara pembuatannya nyaris tidak berubah diturunkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Bukan hanya itu, nilai dan landasan
filosofis yang berada dibalik bentuk karya seni rupa tradisional tersebut pun
umumnya relatif tidak berubah dari masa-ke masa. Bentuk-bentuk seni rupa
tradisional ini dibuat dan diciptakan kembali mengikuti suatu aturan (pakem)
yang ketat berdasarkan sistem keyakinan atau otoritas tertentu yang hidup dan
terpelihara di masyarakatnya. Dalam konteks perkembangan seni rupa di Barat
(Eropa), istilah seni rupa tradisional ini menunjukkan pada otoritas penguasa
agama (gereja), raja dan para bangsawan. Para seniman tradisional menciptakan
karya berdasarkan keinginan atau aturan yang telah ditetapkan sesuai ”selera”
institusi-institusi tersebut dan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
sepanjang kekuasaan institusi-institusi tersebut.
Berdasarkan pengertian seni
tradisional yang telah disebutkan di atas, kita menjumpai berbagai karya seni
rupa di Indonesia khususnya karya-karya seni kriya dapat dikategorikan sebagai
karya seni rupa tradisional. Banyak sekali benda-benda kriya yang tersebar
dikepulauan Nusantara, yang bentuk, bahan dan cara pembuatannya hingga saat ini
tidak mengalami perubahan yang berarti sejak pertama kali diciptakannya.
Karya-karya seni tradisi ini umumnya hidup di lingkungan masyarakat yang masih
kuat memegang norma atau adat istiadat yang diwariskan para leluhurnya.
Perubahan umumnya terjadi pada fungsi dari benda-benda kriya tersebut yang
semula berfungsi sebagai benda pakai atau benda-benda pusaka kini menjadi benda
hias atau cindera mata. Perubahan sistem sosial dan budaya masyarakat serta
kemajuan teknologi berperan besar mempengaruhi perubahan fungsi benda-benda
tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya
dalam konteks seni rupa dunia, istilah seni rupa tradisional kerap ditujukan
kepada karya seni rupa non Barat. Sifatnya yang mentradisi dan tidak berubah
ini menjadi pembeda utama dengan karya seni rupa Modern yang senantiasa
menuntut inovasi dan kebaruan. Ciri lain dari karya-karya seni rupa tradisional
ini adalah latar belakang penciptaan atau pembuatannya yang senantiasa terikat
oleh fungsi atau konteks tertentu. Pada karya-karya komunal seperti itu, peran
ekspresi individu senimannya nyaris tidak tampak. Hak penciptaan karya seni
rupa bukan milik perorangan tetapi milik masyarakat pendukungnya. Dengan
demikian hampir tidak ada karya seni rupa tradisional yang menggunakan inisial
pembuatnya seperti yang umumnya terdapat pada karya-karya seni Modern.
Karya seni rupa tradisional
tersebar luas dari ujung Barat hingga ujung Timur kepulauan Nusantara
(Indonesia). Sejak masuknya kolonialisme barat (penjajahan bangsa Eropa) ke
kepulauan Nusantara dan berkembangnya paham seni rupa Modern di Eropa, maka
karya-karya seni rupa Nusantara di luar kategori karya yang menggunakan konsep
Modern tersebut dikategorikan sebagai karya seni rupa tradisional.
Pengkategorian ini dalam pandangan yang sempit seringkali digunakan untuk
menunjukkan karya seni rupa yang bermutu tinggi (modern) dengan karya yang
bermutu rendah (tradisional). Pengaruh penjajahan bangsa Barat yang cukup lama
di kepulauan Nusantara menyebabkan pandangan semacam ini terus berkembang yang
memandang karya-karya seni kriya (seni rupa tradisional) lebih rendah dari
karya seni lukis atau patung modern. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan
sebagian masyarakat yang memandang modern identik dengan kemajuan dan
perkembangan sedangkan tradisional identik dengan stagnasi, kuno atau
ketinggalan jaman. Sikap dan cara mengapresiasi yang keliru ini seringkali
menyebabkan karya-karya seni rupa tradisional yang sesungguhnya bernilai tinggi
terabaikan dan terlupakan. Padahal karya-karya seni rupa tradisional Nusantara
ini memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dan menjadi gagasan
dalam berkarya seni rupa. Apresiasi yang tepat diharapkan dapat menghasilkan
inovasi karya-karya seni rupa yang memiliki cirikhas Indonesia.
B. Karya Seni Rupa Kontemporer
Selain berdasarkan medianya,
kesenian juga dapat digolongkan berdasarkan sifatnya, yakni dengan seni
kontemporer dan klasik. Seni klasik yang dimaksud adalah kesenian yang
diasosiasikan pada puncak penciptaan seni tertinggi pada suatu masyarakat.
Sedangkan dalam seni kontemporer, sifat kesenian dihubungkan dengan penciptaan
kekinian dan tengah mengalami proses perkembangan.
Istilah kontemporer sendiri
berasal dari kata contemporary yang
berarti apa-apa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D. Maryanto,
2000). Walaupun demikian istilah “seni rupa kontemporer” ternyata tidak dapat
begitu saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat kekinian seperti dijelaskan
di atas. Istilah seni rupa kontemporer di Barat pada kenyatannya masih
menimbulkan perdebatan, terutama karena tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk
untuk menunjuk kepada suatu praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian
kontemporer semakin menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut
digunakan untuk menunjuk pada praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai
perdebatan ini muncul karena penggunaan artinya secara leksikal menerangkan
kekinian sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer yang dipengaruhi
wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer
dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya era modernisme dalam seni rupa (modern
art). Berakhirnya era ini memunculkan terminologi baru yang kemudian
dipakai dalam praktek seni rupa di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post
modernisme). Penggunaan istilah posmodern ternyata menyimpan
persoalan—karena kompleksitas dan keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga
lebih banyak digunakan istilah seni rupa kontemporer (contemporary art).
Walaupun demikian, istilah ini masih mendatangkan masalah karena tidak mengarah
pada pengertian seni rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah dengan pengertian contemporary yang
secara leksikal sama dengan pengertianmodern yang
berarti juga ”masa kini” (A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat
dikatakan sebagai sebuah wacana dalam praktek seni rupa di Barat yaitu praktek
seni rupa yang menunjuk kepada kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini
menyiratkan wacana dalam praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini
disebabkan karena salah satu paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma
yang menolak modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah
semangat universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan
teknologi, individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta penolakan (pelecehan)
non-Barat. Sifat-sifat modern ini pada perkembangannya seolah-olah
mengesampingkan berbagai produksi kesenian non Barat yang dianggap lebih rendah
dari seni modern karena bersifat tradisional. Sifat inilah yang ditentang oleh
penganut seni rupa posmodern karena sifat-sifat modern tadi tidak mengakui
karya seni rupa tradisonal yang dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya
seni rupa yang sejajar dengan karya seni rupa modern.
Ciri kontemporer dalam wacana
seni rupa kemudian dikukuhkan dengan semangat pluralisme (keberagaman),
berorientasi bebas serta menghilangkan batasan-batasan kaku yang dianggap baku
(konvensional) dalam seni rupa selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan
medium dan pengkotak-kotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni
grafis” nyaris diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak terbatas
memunculkan karya-karya dengan media-media inkonvensional serta lebih berani
menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik (Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus
dalam wacana seni rupa kontemporer seperti telah disebutkan di atas, tetapi
arti leksikal yang menunjukkan konteks kekinian tidak dapat diabaikan begitu
saja. Berdasarkan konteks kekinian, seni rupa kontemporer dapat dipandang
sebagai karya seni yang ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi
sekaligus merefleksi kondisi yang mewarnai keadaan zaman ini tempat “budaya
global” menyeruak, yang menebarkan banyak pengaruh yang menjadi penyebab
berbagai perubahan dan perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni
rupa kontemporer yang dimaksud dalam tulisan ini dapat dipakai untuk menunjukkan
wacana seni anti modernisme yang mengagung-agungkan universalisme, menggunakan
medium inkonvensional, berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi
yang baku, meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh persoalan
sosial, ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan politik ini
diwarnai dengan keadaan zaman di mana budaya global banyak memberikan pengaruh
terhadap perubahan dan perkembangan yang bersifat kultural.